Gambar 1 |
Akhirnya
bisa nge-blog lagi! Ya nge-blog sejatinya sudah menjadi kegiatan rutin saya
dalam beberapa tahun belakangan. Setidaknya dalam kurun waktu sebulan saya bisa
menulis banyak hal di dalam blog saya. Namun berbagai kesibukan yang mengekang
saya beberapa tahun ini seperti mengubur sisi kreatif saya, terutama dalam hal
menulis. Dan pada kesempatan kali ini saya akan menulis topik yang belakangan
ini sedang hangat-hangatnya menjadi perbincangan ditengah masyarakat yakni
mengenai dunia pendidikan.
Ironis!
Itulah yang bisa saya gambarkan dalam satu kata mengenai dunia pendidikan di
Indonesia akhir-akhir ini. Mulai dari guru (pendidik) yang melakukan tindak
kekerasan kepada murid (peserta didik) nya, hingga peserta didik yang melakukan
kekerasan terhadap sesama peserta didik. Masalah lain yang tak kalah pelik
seperti tawuran antar pelajar dan turunnya minat belajar para siswa. Apa yang
menyebabkan semua masalah tersebut? Masa anak-anak hingga remaja merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan manusia. apa yang manusia lihat dan rasakan tanpa
sadar akan dia simpan ke dalam memori otaknya. Sekolah atau lembaga pendidikan
diatasnya merupakan tempat dimana manusia mengabiskan sebagian besar waktunya.
Dan dalam berjalannya waktu sifat manusia berubah karena pengaruh lingkungan
sekolah. Pendidik (guru, dosen, dan yang setara) seharusnya bukan sekedar
mengajar melainkan harus mendidik, membimbing, membina dan melindungi para
peserta didik (murid, mahasiswa dan yang setara). Namun faktanya beberapa
pendidik tidak demikian. Tanpa bermaksud menghakimi para pendidik, namun ada
beberapa pendidik yang menurut saya selama ini kurang tepat dalam mengajar atau
lebih tepatnya menerapkan metode belajar. Dan secara tidak sadar metode belajar
yang mereka terapkan mengakibatkan pengaruh buruk terhadap kondisi jiwa dan
psikologis murid yang diajar. Dan berikut ini beberapa kesalahan yang tanpa
sadar pendidik lakukan dalam mengajar:
1. Menempatkan Posisi Pendidik diatas Peserta Didik
Gambar 2 |
Secara harfiah
posisi pendidik memang diatas peserta didik, yang berarti peserta didik harus
menghormati pendidik. Tidak ada yang salah mengenai pernyataan tersebut. Namun
kenyataanya beberapa pendidik menyalahgunakan posisi nya yang “diatas”
tersebut. Misalnya beberapa pendidik cenderung tidak menghormati peserta
didiknya. Akibatnya peserta didik pun jadi segan, takut atau malah tidak
mengacuhkan si pendidik. Tentunya hal ini tidak baik bagi kondisi psikologis
atau mental si peserta didik. Sehingga berakibat peserta didik akan menganggap
semua pendidik itu sama saja, membosankan, tidak baik dan lain sebagainya.
Ujung-ujungnya peserta didik akan kehilangan gairah belajar dikelas lagi dan
cenderung melakukan hal-hal negatif untuk melampiaskannya.
Istilah “peserta
didik harus menghormati pendidik” tidaklah tepat. Seharusnya istilah
tersebut diganti menjadi “peserta didik dan pendidik "harus saling
menghormati”. Agar nanti kedepannya tidak ada lagi kesenjangan antara
peserta didik dan pendidik. Sehingga gairah peserta didik untuk belajar dikelas
kembali meningkat.
2. Gaya Mendidik ala Militer
Gambar 3 |
Siapa yang suka
diajar oleh pendidik yang galak, yang setiap pertemuan memasang wajah angker?
Tentunnya banyak yang tidak suka! Namun pada kenyataannya pendidik dengan gaya
seperti itu masih bisa kita jumpai dari level sekolah dasar hingga level
perguruan tinggi. Kalau menurut saya, gaya mendidik tersebut tidaklah efektif.
Berapa banyak peserta didik yang bisa dan menguasai materi yang dijelaskan oleh
pendidik dengan gaya militer tersebut? Pasti hanya bisa dihitung dengan jari,
maksimal sekitar sepuluh hingga belasan peserta didik saja.
Selain itu ada
dampak negatif baik yang dialami oleh peserta didik maupun pendidik. Dengan
belajar gaya militer sebagian besar peserta didik akan cenderung merasa
terintimidasi, dan tidak bisa menyerap ilmu yang diajarkan dengan maksimal. Kemudian
gaya ala militer menurut saya tidak tepat diterapkan di dunia pendidikan.
Alasannya karena setiap proses pembelajaran akan menguras kekuatan otak yang
bisa menyebabkan stres ringan. Bayangkan jika kegiatan belajar mengajar
menerapkan sistem yang bergaya militer dengan membentak-bentak atau
marah-marah? Kemungkinan besar peserta didik akan mengalami stres berat yang
menyebabkan ilmu yang diajarkan menjadi tidak diserap dan dipahami oleh peserta
didik.
3. Tidak Mengetahui tipe Belajar Peserta Didik
Pernahkah kita berpikir,
mengapa si A pintar matematika? Atau si B yang pintar menggambar, atau si C
yang pintar berpidato di depan kelas? Secara Umum hal tersebut menggambarkan tipe
belajar yang berbeda-beda yang dimiliki setiap individu. Menurut Pieter dan Hearchi tipe belajar merupakan gaya
belajar yang dimiliki setiap individu yang mempermudah individu tersebut
menyerap kemudian mengolah suatu informasi. Tipe belajar dapat dibedakan
menjadi 3 macam, yaitu visual, auditori, dan kinestetik. Tipe belajar visual
merupakan gaya belajar yang cenderung mudah menyerap informasi lewat gambar. Auditori
lewat suara, sedangkan Kinestetik lewat contoh nyata.
Gambar 4 |
Dengan dibaginya tipe atau gaya belajar seperti
tadi seharusnya mempermudah para pendidik dalam menyampaikan ilmunya. Namun prakteknya
masih ada beberapa pendidik yang mengajar tanpa memperhatikan tipe belajar
peserta didiknya. Sehingga mengakibatkan banyak peserta didik yang sulit
menyerap ilmu yang telah diajarkan. Memang dengan mengetahui tipe belajar
peserta didik akan sedikit menyulitkan para pendidik dalam mengajar, karena
pendidik dituntut bisa menyampaikan ilmunya secara visual, auditori maupun
kinestetik secara baik. Namun dengan begitu kemampuan mengajar dari pendidik
akan meningkat, dan juga ilmu yang diterima oleh peserta didik akan terserap
secara optimal, sehingga mampu menaikan kompetensi dari pendidik dan peserta
didik itu sendiri.
4. Pilih Kasih dalam Mendidik
Gambar 5 |
Sering kali bila kita
amati situasi didalam sebuah kelas terutama ketika proses belajar mengajar
sedang terjadi, peserta didik yang katakanlah pintar pasti mendapat perhatian
lebih dari pendidik. Yang mudah terlihat adalah dari ekspresi wajah dan cara
bicara pendidik kepada peserta didiknya. Biasanya pendidik akan berbicara
secara halus dengan ekspresi wajah yang ramah kepada peserta didik yang “pintar”.
Sebaliknya, pendidik akan berbicara dengan nada yang tinggi dengan ekpresi wajah
yang mengerikan kepada peserta didik yang “bodoh”. Adil dan wajarkah?
Tentunya sebagian
orang akan bilang itu adil dan wajar-wajar saja. Namun sebagian orang pasti
bilang tidak. Bahkan ada anggapan atau mindset yang kira-kira seperti ini ‘orang
pintar pantas mendapatkan senyuman dan orang bodoh pantas mendapat hinaan’. Tentunya
hal tersebut tidaklah pantas diterapkan didalam dunia pendidikan. Namun kenyataannya
masih ada hal yang seperti itu. Secara psikologis hal tersebut tidaklah baik. Akibatnya
peserta didik yang terlihat “bodoh” akan semakin sulit untuk berkembang menjadi
lebih baik lagi. Pasti ada alasan mengapa peserta didik istilahnya terlihat “bodoh”
didalam kelas. Apapun itu keadaannya mereka juga manusia yang bisa melakukan
kesalahan, oleh karena itu perlakukanlah semua peserta didik secara adil. Selain
itu perilaku ramah dari pendidik kepada peserta didik juga dapat meningkatkan
motivasi untuk berkembang dan pastinya akan mendapatkan sikap respect dari
peserta didik.
5. Kurang Komunikatif
Gambar 6 |
Apakah kalian
pernah melihat beberapa pendidik yang ketika mengajar terlihat kaku dalam
mengajar? Atau pendidik yang mengajar layaknya seperti sebuah speaker,
maksudnya berbicara secara satu arah(hanya dari pendidik ke peserta didik) Pasti
ada, dan cara mengajar seperti itu pastinya membuat peserta didik mudah bosan
dan mengantuk. Sehingga ilmu yang diajarkan menjadi tidak terserap secara
optimal.
Biasanya kita
sering melihat pendidik yang masih fresh
graduated mengajar seperti itu. Namun tak jarang pendidik yang berumur yang
mengajar dengan cara seperti itu. Menurut analisa saya, ada beberapa alasan
mengapa pendidik mengajar seperti tadi diantaranya yaitu dari kepribadian
pendidik itu sendiri, pendidik yang mengajar hanya sebagai sebuah profesi (bukan
panggilan jiwa) dan pendidik yang tidak menikmati profesinya. Apapun itu jika
terus berlangsung proses belajar mengajar yang kurang komunikatif tersebut
dapat merugikan baik dari peserta didik maupun pendidik itu sendiri. Dari peserta
didik seperti yang telah saya sampaikan tadi ilmu yang diajarkan menjadi tidak
terserap secara optimal, selain itu masalah belajar dari peserta didik menjadi
tidak terselesaikan. Dan dari pendidik, kompetensi dalam mengajar menjadi tidak
meningkat.
Banyak
faktor yang menyebabkan seorang peserta didik mampu menyerap ilmunya secara
optimal atau tidak. Mulai dari sistem pendidikan, lingkungan pendidikan hingga
kompetensi dari pendidik itu sendiri. Disini saya tidak menghakimi atau
menyalahkan para pendidik mengenai cara mengajar mereka. Tetapi sebaliknya saya
ingin mengingatkan dan memotivasi kepada para pendidik agar meningkatkan
kompetensi mereka dalam mengajar. Sehingga nantinya bukan hanya peserta didik
yang diuntungkan, tetapi pendidik juga diuntungkan. Jika sudah begitu bukannya
tidak mungkin bangsa ini akan melahirkan generasi-generasi penerus yang hebat dalam
beberapa tahun kedepan.
Gambar 7 |
Sumber Gambar :
Komentar
Posting Komentar